Langsung ke konten utama

Tuhan Butuh Uang?

 


Oleh Ramadhan eL 

Muslim seantero lagi heboh. Biaya haji tahun ini diusulkan naik. Besarannya pun bikin cemas, 69,2 Juta rupiah. Dua kali lipat dibanding tahun lalu.

Ini adalah usulan pemerintah. Bahasanya orang kemenag biaya ini masih terbilang normal. bahasa yang kemudian ditolak banyak pihak.

Biaya ini masih usulan memang. Presiden Jokowi juga heran bukan main ketika berita ini heboh padahal ini baru saja usulan bukan keputusan final karena masih akan dibicarakan dengan DPR.

Jika merujuk pada komunikasi ala Pemerintah yang sudah-sudah, bisa jadi usulan kenaikan ini sengaja dilontarkan lebih awal untuk melihat sejauh mana reaksi masyarakat. Test the water istilahnya. Dan itu sudah biasa kita alami. 

Karena baru sebuah usulan dan masih akan dikaji saya tidak akan membahas mengenai biaya haji ini karena dua hal.

Pertama, saya bukanlah orang yang paham agama, bukan ustaz ataupun ulama yang bisa membedahnya dalam perspektif agama. Kedua, Saya tidak begitu paham bagaimana pengelolaan dana haji di negeri mayoritas muslim ini.

Saya akan membahas mengenai uang. Ya uang. Bagaimana uang memainkan peran siginifikan dijantung kehidupan orang modern. Dengan biaya selangit, Tuhan setidak-tidaknya ibadah membutuhkan namanya uang. Uang yang saya maksud adalah alat tukar resmi dalam berbagai bentuk.

Jika anda tanyakan apakah Tuhan butuh uang tentu pertanyaan itu terlihat konyol. Kitalah yang butuh uang untuk melancarkan dan melaksanakan perintah Tuhan. Demi masa depan kita di Akhirat nanti.

Dengan perjalanan waktu yang terasa singkat, uang telah berperan penting dalam sejarah. Uang merevolusi dirinya mengikuti kehendak kebijaksanaan manusia sendiri.

Uang mulai bergerak pada bentuk yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya. Uang mulai mendefinisikan diri dalam bentuk kilauan layar komputer bahkan handphone anda. Uang elektronik. 

Saat ini uang begitu mudah berpindah dari satu tempat ketempat lainnya dan kapanpun entah pagi siang atau malam selama jaringan internet tersedia. Uang saat ini nyaris membuka semua pintu surga sekaligus melebarkan pintu Neraka.

Dengan kemampuan dan kecerdasan teknologi, kita bisa membeli sebuah barang secara online, memesan taksi bahkan maaf kata secara diam-diam mengirimkan uang kepada kekasih gelap.

Pelan tapi pasti uang dalam wujud fisiknya akan mulai kehilangan tempat dan pada akhirnya akan lenyap ditelan sejarah dan akan berganti dengan angka-angka yang kita sepakati dan yakini bersama. Semua orang akan menggunakan transaksi non tunai atau elektronik. Semua akan dipaksa akan menggunakannya, karena sejak dibuat, Uang senantiasa merevolusi dirinya.

Untuk melihat Revolusi Uang kita bisa melihatnya sejak pertama kali Uang dibuat oleh sebuah kerajaan kecil di Eropa.

Revolusi uang bisa kita baca dari banyak literatur. Salah satunya dari buku berjudul The History of Money karya Jack Weatherford. Walau bukan seorang ekonom, namun karya antropolog budaya asal Macalleseter College ini secara ringkas jelas menguraikan bagaimana uang berevolusi dan mempengaruhi jantung kehidupan manusia.

Revolusi pertama uang terjadi bukan berasal dari negeri para dewa dan para pemikir Yunani namun dari sebuah kerajaan kecil bernama Lydia. Koin merupakan sebuah penemuan dan sumbangsih besar kerajaan mungil Lydia atas peradaban didunia.

Kejeniusan Raja Lydia dengan mencetak koin pertama pada tahun 640 SM meruntuhkan transaksi uang komoditas (biji cokelat, garam, gigi ikan paus, jagung dan lain lain) yang ada pada masanya.

Koin pertama dicetak dari elektrum yaitu campuran alamiah antara emas dan perak. Seukuran ruas ibu jari koin pertama ini kemudian diberi cap kepala singa untuk autentifikasi.

Pemberlakuan koin pertama ini kemudian menyebar dengan cepat dan memunculkan inovasi baru dalam kehidupan ekonomi manusia yaitu pasar eceran. Sebuah cikal bakal pola perniagaan modern.

Kemunculan koin dan pasar eceran mendorong masyarakat saat itu untuk terus melakukan inovasi termasuk dalam hal hitung menghitung. Sebelum ditemukan koin transaksi dengan uang komoditas begitu rumit namun dengan koin seseorang bisa membeli banyaj barang dengan beberapa keping koin saja.

Koin mengalami kejayaan dan kematiannya dizaman keperkasaan raja-raja Romawi. Meningkatnya kebutuhan atas koin dalam menjalankan kekuasaan yang besar membuat koin kehilangan nilainya pada masa itu. Raja-raja Romawi klasik mulai mengurangi nilai koin hingga kemudian benar-benar tak berharga sama sekali dan membawa masa setelahnya pada abad yang kita kenal dengan abad kegelapan.

Butuh 1000 tahun bagi kemunculan kembali ekonomi uang dizaman renaisans atau pencerahan ditangan para bankir legendaris dari Italia.

Penemuan komputer dan internet menjadikan uang menemukan bentuk barunya. Komputer dan internet membuka dinding hambatan bagi laju peredaran dan pemakaian uang. Tidak hanya itu uang mendefinisikan kembali dirinya.

Bukan lagi sebagai alat pembayaran yang sah atas sebuah barang atau jasa, uang diera komputer dan internet manjadi komoditas itu sendiri. Kita bisa lihat uang diperdagangkan dari satu mata uang ke mata uang lainnya dan orang mendapatkan keuntungan dan kerugian darinya.

Di era mileneal, uang baru kemudian muncul dan kita namakan uang virtual atau lebih familiar kita sebut e-Money. Ravolusi industri 4.0 memicu penggunaan uang baru ini semakin masif dan diterima diseluruh penjuru dunia.

Begitu banyak uang virtual yang digunakan didunia tanpa batas internet. Sebut saja beberapa yang terkenal paypall, webmoney, bitcoin, litecoin dan ratusan lainnya. 

Baru-baru ini di Negara kita, Bank Indonesia sudah meluncurkan buku putih yang disebut proyek garuda dengan memperkenalkan rupiah digital.

Kemajuan yang didapat tentu mengarahkan kita semua pada skema transaksi non tunai. Bahkan secara definitif pulsa telpon seluler saat ini juga bisa dikatakan sebagai uang karena bisa digunakan untuk berbelanja.

Bukan tidak mungkin uang yang kita kenal selama ini berupa uang koin dan kertas akan masuk dalam kotak usang sejarah dan menjadi barang antik kegemaran para kolektor.

Hanya saja disepanjang sejarahnya Uang yang semakin tidak terkendali ini selain memajukan kebudayaan manusia juga secara serampangan dan beringas bisa memberangus kebudayaan sendiri.

Oleh karena itu, hanya kebajikanlah yang mampu mengerem laju liar uang yang kita gunakan.

Sekian.....


Komentar