Langsung ke konten utama

Bubur, Bibir, Banjir

 


Oleh : eL Ramadhan

Kami diangkut dengan paksa kedalam mobil truk polisi. Ditendang seperti binatang. Beberapa polisi muda bahkan mengajak kami berkelahi. 

Seorang teman terpancing emosinya tapi kemudian diredakan koordinator lapangan supaya tidak menggubris. 

Saya juga sempat emosi tapi kemudian sadar bahwa mereka adalah polisi muda yang mendapatkan perintah dan mungkin saja mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan.

Itu adalah pengalaman pertama saya digelandang ke kantor polisi karena ikut demo. Kejadiannya sekitar tahun 2000. Saat itu euforia reformasi masih terasa sangat kuat. Sebagai mahasiswa semester awal saya ingin merasakan suasana perjuangan melawan rezim. 

Sebagai mahasiswa Gorontalo yang belajar di Manado, euforia itu bertambah kuat dengan keberhasilan senior-senior kami yang turut berjuang membentuk Provinsi Gorontalo. Mereka dengan gagah berani menggelar demo perjuangan pembentukan Provinsi dengan segala bahaya yang mereka terima.

Saya turut merasakan sedikit perjuangan itu walaupun di ujung ketika perjuangan mereka menampakkan keberhasilan. 

Dengan suasana seperti itu, saya ikut demo apapun. Yang penting demonya melawan kebijakan yang salah. Yang penting demonya untuk memperjuangkan hak-hak rakyat. Itulah semangat yang ada dalam diri saya waktu itu.

Demo yang saya ikuti berujung "diamankan" tersebut terbilang cukup mulia. Memperjuangkan lingkungan dan hak-hak nelayan disepanjang pantai boulevard. Protes atas reklamasi. 

Menurut para senior saya waktu itu yang ikut dalam organisasi lingkungan, demo yang mereka lakukan sudah tak terhitung lagi. Tak ada hasil memang. Tapi menurutnya, tak peduli seberapa berhasil mereka yang jelas mereka telah menyuarakan.

Kapitalisme itu akan selalu berhadap-hadapan dengan lingkungan. Menurut aktivis lingkungan yang meyakinkan saya ikut demo, karena yang mereka hadapi adalah pemilik kapital bersama penguasa maka perjuangan mereka sangat berat. Banyak sudah aktivis yang terbujuk rayu, gerakan digembosi dengan uang yang banyak.

Para aktivis itu diserang dari semua penjuru mata angin. Propaganda lewat media dan penggunaan kekuatan penegak hukum serta tentu saja kuasa mereka masuk juga lewat kampus-kampus. Kekuatan pemodal yang sangat besar. Raksasa yang sedang rakus membayangkan keuntungan reklamasi.

Reklamasi sudah diperingatkan  akan menyebabkan banjir. Reklamasi itu sudah dipaparkan akan menghilangkan banyak nelayan. 

Pendapat itu seakan hanya seperti bunyi kecil ditengah impian kota bubur Manado akan lahirnya sentra ekonomi baru. Akan banyak lapangan kerja.

Apa yang ditawarkan penguasa dan kapitalis benar adanya. Mereka berhasil mempermak pantai boulevard sebagai kawasan ekonomi baru, mendatangkan banyak keuntungan. Lapangan kerja juga banyak tersedia. 

Namun disisi lain, peringatan para aktivis itu juga terbukti benar. Reklamasi telah menyebabkan apa yang dialami sekarang. Banjir besar yang akan selalu menghantui kota itu setiap saat.

Kita semua turut berduka atas musibah yang terjadi di Manado saat ini. Apalagi yang pernah sekolah disana. Kita juga tahu banyak orang tua kita disana. Orang Gorontalo yang telah lama menetap disana. Menjadikan Manado rumah kedua mereka untuk mencari nafkah. 

Apalah daya,kita hanya bisa mengirimkan doa agar keluarga kita disana bisa tabah dan sabar. Kita juga semua berharap agar penguasa disana ditahun-tahun mendatang bisa menemukan solusi mengatasi banjir yang semakin hari semakin mengkhawatirkan.

Jika di ingat ingat kembali, rasanya saya adalah mahasiswa beruntung masih sempat menikmati indahnya matahari tenggelam dipantai boulevard. Walaupun tidak lama karena proyek reklamasi saat itu sedang dipercepat.

Ketika pulang kampus sore hari kami selalu menyempatkan diri untuk menikmatinya. Diskusi kecil soal kampus, soal politik, soal gerakan mahasiswa sambil menikmati gorengan dan saraba tentu saja sesekali melirik wanita-wanita cantik khas Manado.

Komentar