Kasubag Perencanaan dan Keuangan Kantor Camat Mootilango
Memaafkan itu posisinya lebih mulia. Itu yang diajarkan agama kita. Firman Allah SWT dan hadits Nabi yang menerangkan kemuliaan posisi memaafkan ini sebagai akhlak mulia.
Mengapa menjadi akhlak mulia karena memaafkan itu tidak mudah, butuh kebesaran jiwa dan kelapangan hati. Bahkan ketika sesorang punya kedudukan lebih tinggi dan mampu membalas perlakuan seseorang dengan kedudukannya itu.
Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa memaafkan saat ia mampu membalas, maka Allah akan memberinya maaf pada hari kesulitan" (HR Ath-Thabrani).
Selain kebesaran jiwa, memaafkan bukan perkataan formalitas dari mulut seseorang atau pesan singkat.
Memaafkan formalitas bukan yang diinginkan. Memaafkan butuh proses sebelum berujung pada kebesaran jiwa dan ketulusan hati.
Dalam ilmu psikologi positif, ada lima tahap yang perlu dilalui sebelum kita bisa memaafkan seseorang dengan tulus
Pertama, Mengingat kembali kesalahan orang dengan penuh kasih.
Berat memang, tetapi ini tahap pertama yang perlu dilakukan menurut para psikolog. Kita diminta memandang dalam perspektif berbeda setiap kesalahan orang yang membuat kita sakit hati.
Kedua, Menumbuhkan rasa empati
Kita diminta untuk merasakan empati bagaimana perasaan tidak menyenangkan ketika belum dimaafkan sesorang
Ketiga, Altruistik
Bantulah orang yang membuat kesalahan itu tanpa mengharapkan balasan atau timbal balik apapun. Perilaku altruistik ini adalah tahapan maju dalam proses memaafkan seseorang.
Keempat, Komitmen.
Kita perlu berkomitmen penuh untuk memaafkan sesorang.
Kelima, Berpegang teguh pada pemaafan
Ketika kita sudah melakukan empat tahapan sebelumnya maka kita perlu untuk berpegang teguh dalam memaafkan tersebut. Ini perlu karena emosi negatif bisa muncul yang akan membuyarkan proses pemaafan yang telah kita lalui.
Kelima tahapan ini akan mendorong kita pada zona pemaafan total. Pemaafan yang berjiwa besar dan berhati tulus.
Secara aplikatif, pemaafan total bisa kita teladani dari sikap Nabi Muhammad SAW.
Salah satu kisah yang paling masyhur adalah ketika Rasulullah memaafkan seorang nenek tua yang selalu melempari Nabi dengan kotoran setiap kali lewat didepan rumahnya.
Nabi SAW tidak marah dengan perbuatan nenek tersebut bahkan nabi hanya melemparkan senyum. Suatu ketika nenek tersebut sakit.
Setelah perbuatan nenek yang buruk terhadap Nabi, justru Nabilah yang pertama menjenguknya. Tidak hanya menjenguk, Nabi membersihkan rumah nenek tersebut dan menyiapkan makanannya.
Itulah Nabi dengan akhlak yang luar biasa mulianya. Nabi memaafkan nenek tersebut dengan hati yang tulus dan ditunjukkan dengan perbuatan.
Kita bukanlah Nabi, namun paling tidak kita bisa meneladani sikap Nabi dan mengambil pelajaran darinya.
Nabi telah menunjukkan secara nyata apa yang saya sebut sebagai memaafkan tanpa tapi.
Memaafkan tanpa tapi adalah upaya menyeluruh dalam menjalin hubungan sosial dengan membuang jauh ego dalam diri. Dan inilah yang paling sulit dilakukan dimana kita semua terkadang membutuhkan sebuah momentum untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan.
Memaafkan seseorang tentu bisa kapan saja. Memaafkan seharusnya tak perlu ditunda sambil menunggu lebaran. Akan tetapi momentum yang selalu dianggap tepat tentu saja adalah saat Hari Raya Idul Fitri. Dengan meningkatnya dosis Iman selama berpuasa, maka memaafkan yang tertunda bisa jadi akan mudah dilakukan.
Dendam, rasa benci rasanya akan mudah kita lemparkan sejauh-jauhnya dengan momentum Idul Fitri. Menghapus dendam dan rasa benci seakan menjadi bagian dalam penyempurnaan ibadah selama sebulan lamanya. Cukup berat memang, apalagi orang yang berbuat salah tersebut belum meminta maaf.
Pemaafan punya kedahsyatan yang bisa kita rasakan dikemudian hari. Lihatlah bagaimana nenek yang dimaafkan Nabi memeluk Islam karena akhlak memaafkan Nabi yang mulia.
Nelson Mandela mengungkapkan kedahsyatan memaafkan ini dalam kalimatnya yang terkenal.
"Memaafkan memang tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi di masa lalu, tapi akan melapangkan jalan kita di masa depan,"
Komentar
Posting Komentar